Kraukk.com

728 x 90

my twitter

Follow g1g1kel1nc1 on Twitter

Sabtu, 18 Juni 2011

S U P I R

Aku tidak menyangka perjalanan jauh meninggalkan rumah dan kampung halaman ternyata hanya menjadi menjadi seorang supir. Mencari pekerjaan di kota tidak semudah yang aku dengar dari cerita teman-temanku dikampung.

Beberapa kali aku harus keluar masuk tempat mencari pekerjaan dan tak jarang dimanfaatkan orang lain karena kepolosanku demi kepentingan mereka. Tetapi lambat laun aku belajar dan beradaptasi dari setiap kejadian dalam hidup yang pahit sekalipun.

Dengan pikiranku yang sederhana, aku semakin berfikir keras agar bisa hidup dikota besar. Aku merasa nilai dari sebuah kejujuran tidak ada harganya lagi. Untunglah aku masih memiliki seorang teman , namanya Tiwul. Ia satu-satunya teman yang masih memegang prinsip kejujuran dalam bekerja walaupun nasibnya sama seperti aku belum terlihat peningkatan taraf kehidupan, masih tetap supir.

Kami bertemu secara tidak sengaja ketika ia mengantar barang ke rumah majikanku yang kebetulan juga mempunyai usaha dagangan. Tiwul seorang supir juga di sebuah perusahaan. Ia khusus mengantarkan barang-barang ke tempat customer. Sedangkan aku , adalah supir pribadi seorang boss yang menjadi majikanku. Karena rutin memesan barang dari tempat kerjanya Tiwul , kami semakin akrab sehingga aku tinggal disatu kontrakan dengannya.

Kami tinggal bertiga, seorang lagi bernama Tresno, seorang supir angkot. Ia mengambil trayek dari pagi hingga sore hari dan malam harinya ia ojeg motor. Tresno paling muda diantara kami dan ia masih sepupu dengan Tiwul. Ia mengajak Tresno yang lulusan SMA untuk ikut bekerja dikota besar.

Tiwul sudah menikah dua tahun dan istrinya ditinggalkan di kampungnya. Keahlian yang dipunyai hanya supir. Untunglah Tiwul punya banyak teman supir , karena dahulu ia juga pernah jadi supir angkutan. Ia merekomendasikan Tresno menjadi supir angkot tembak.

Sebulan dua kali ia rutin pulang kampung untuk menjenguk istrinya. “Dulu waktu jadi supir bus, aku tiga bulan sekali baru bisa pulang menjenguk istriku, Bar. Penghasilan dari supir, aku simpan supaya jika aku pulang dapat membelikan sesuatu untuk istri dirumah.” kenang Tiwul diberanda kontrakan. Kami berbincang seusai sholat Isya ditemani kopi dan kacang rebus.

“Waktu itu kami baru saja menikah. Mau nerusin usaha apa di kampung? Karena percuma sudah tidak bisa Bar. Kampung ku sudah mulai sepi, pemuda disana sudah pindah ke kota besar ataupun keluar negeri mengadu nasib jadi TKI. Isinya hanya mereka yang sudah tua dan anak-anak. Istriku tidak bisa aku ajak karena aku belum sanggup. Biaya disini sangat besar Bar, semua pakai duit.” Tiwul bercerita sambil menatap jauh ke atas. Seakan ia sedang membayangkan kesulitan biaya yang dihadapi andai istrinya bersamanya di kota.

“Aku bersyukur Bar, sejak istriku hamil, penghasilanku sedikit banyak telah berubah. Aku diterima jadi supir diperusahaan. Ada gaji tetap dan jam kerjanya teratur sehingga aku bisa jadwalin kapan saja untuk bertemu istri sesering mungkin. Lalu usaha kecil-kecilan istriku juga semakin laku. Rasanya aku sangat berterima kasih kepada Allah, Bar.” Tiwul semakin dalam mengungkapkan rasa syukurnya sampai ia ingin menangis.

Aku terharu mendengar pengakuan jujur dan cerita yang berharga ini. Selama ini aku selalu berhadapan dengan kemunafikan, muka bertopeng dan lidah yang manis untuk merayu demi kepentingan pribadi. Aku tidak menemukan orang yang bersyukur atas karunia Tuhan yang telah terjadi dalam hidupnya seperti , Tiwul.

Aku sendiri belum setahun menjadi supir pribadi majikanku. Sebelumnya aku pernah menjadi office boy, kurir, dan pernah menjadi supir pribadi juga selama dua tahun. Aku menjadi supir pribadi boss yang sangat gila kerja. Ia bukan orang yang kenal belaskasihan dan tidak pernah punya rasa hormat terhadap oranglain. Bukan hanya kepada saya tetapi kepada para pekerja dirumahnya ia pun bertindak semena-mena.

Menganggap karena ia mampu menggaji kami, lantas memeras tenaga kami seenaknya.
Aku memberontak dan melawan aturan mainnya. Ia marah dan memecat aku. Gaji terakhirku tidak diberikan olehnya. Aku memang hanya mengandalkan emosi, padahal orangtua menamaiku “SABAR” pasti dengan maksud agar aku mampu menjadi orang yang menahan marah dan egoisku. Kenyataannya, aku kalah dengan rasa marah.

“Kamu sendiri bagaimana Bar kerja dengan majikanmu yang baru ini?” tanya Tiwul membuyarkan lamunanku. Kopi yang tinggal sedikit aku minum guna memberikan energi baru untuk bercerita.

“Alhamdulilah Mas, boss aku sekarang sangat baik. Ia suami yang baik dan istrinya juga baik menerimaku bekerja dengan mereka. Ya kalau aku salah pasti ditegor tetapi mereka sangat mengerti. Apalagi setiap usaha mereka laris terjual, aku juga diberi bonus. Mudah-mudahan aku bisa betah kerja dengannya.” ceritaku penuh semangat. Tiwul tersenyum mendengar ceritaku dan mengatakan bahwa boss aku itu memang langganan tetap perusahaannya.

“Iya aku doakan semoga kamu betah kerja dengan bossmu itu. Kumpulin gajimu itu untuk masa depan. Kamu kan masih bujangan, jangan terlalu boros. Memangnya kamu tidak ingin menikah?”

Pertanyaan terakhir Tiwul seakan menyadarkan aku yang tidak pernah memikirkan untuk mencari pendamping hidup. “Mana ada toh yang suka dengan supir seperti aku ini , Mas?” tanyaku balik dengan bercanda. “Pasti ada Bar. Di bumi ini semua diciptakan berpasangan koq. Kamu pasti ada pasangannya.” jawab Tiwul bijak.

“Semoga pasanganku bukan laki-laki juga ya , Mas.” Tiwul tertawa keras mendengar jawabanku. Ia menepuk bahuku keras.

“Memangnya kamu mau pasanganmu laki-laki juga? Awas ya jangan mencoba merayuku. Bisa geger nanti. Diusir kita nanti dari sini.” ancam Tiwul membalas candaanku. Aku memang baru mengenal Tiwul yang aku panggil “Mas”. Namun ia kuanggap seperti kakak buatku. Bahkan seperti rem bila lajuku terlalu cepat atau cahaya bila aku membutuhkan sinar.

Ia mengerti emosiku yang gampang meledak. Pernah mengamuk ketika hendak membela Tresno yang hampir dipukuli karena ada masalah dengan supir angkot yang lain. Untunglah Tiwul yang mengambil alih kalau tidak, mungkin aku sudah di penjara Ia juga tahu kalau aku sedang menyukai seorang gadis kaya dekat kontrakan kami.

“Jangan terlalu mimpi Bar, ingat kamu tuh siapa.” Selalu Mas Tiwul mengatakan demikian jika aku bercerita bertemu dengan Meta, nama gadis itu. Tetapi maaf Mas, untuk yang satu ini, aku suka bermimpi untuk mendapatkan dia.
**.

Aku berangkat pagi sekali menuju rumah boss majikanku. Di sebuah halte aku melihat Meta berdiri sedang menunggu bus. “Pagi Mba Meta..” aku selalu menyapanya setiap bertemu walaupun hati ini bergemuruh senang. Tetapi sayang ia hanya menatapku sebentar dengan lirikan tajam lalu buru-buru menaiki sebuah taksi. Aku hanya tersenyum senang tetapi tidak ada rasa marah sedikitpun kepadanya.

Seperti biasa sesampainya dirumah boss, aku menitipkan motorku dan siap menjadi supir. meluncur ke sebuah pusat perdagangan di kota besar ini. Dari kaca spion aku melirik boss ku ini sangat rajin membaca Koran dan selalu tampak serius dengan notebooknya. Aku berhayal andai aku bisa seperti dia, menjadi orang yang pintar dan sukses. Pasti semua orang akan menghargaiku.

“Pak, kita sudah sampai.” Bossku cepat-cepat merapikan bawaannya dan menuju rukonya. Aku membantunya membuka rolling door, karena karyawannya belum datang. Sekitar lima belas menit baru satu persatu karyawannya datang. Kalau sedang banyak pengiriman, aku juga membantunya mengirimkan barang dengan seijinnya tentu. Sering aku pulang sampai larut malam jika harus mengantarkannya menemui tamu.
**

Aku tidak menyangka akan bertemu Meta dalam keadaan yang tidak terduga. Ketika menjemput anak bossku disebuah mall untuk mengantarkannya lagi ke sebuah tempat yang aku tidak tahu. Ternyata dia berteman dengan Meta. Aku hanya pasrah memandangi Meta yang menelanjangiku dengan tatapannya yang merendahkan.

Entah kenapa melihatnya bersikap seperti itu hatiku sangat sedih apalagi ia bercerita kepada anak bossku tentang para lelaki yang menyukai dia dan yang menjadi tipenya. Dan aku?? Sama sekali tidak termasuk didalamnya bahkan sebelum mendaftar sudah dieliminasi..Tetapi aku tidak patah semangat. Masih setiap pagi jika bertemu Meta aku menyapanya dengan hangat biarpun balasannya tidak seperti yang aku harapan. Terlebih setelah tahu profesiku yang sebenarnya , cepat-cepat ia menghindariku.

Lewat cerita dari anak bossku, aku mengenal sosok Meta. Saat itu aku mencoba mencari tahu darinya. Menurutnya Meta memang banyak yang menyukai namun anak bossku tidak terlalu akrab dengannya karena Ia kenal Meta hanya karena ada acara ulang tahun teman kampusnya saja. Walaupun mereka satu kampus masih sama-sama semester awal namun beda jurusan.

”Emang kenapa Mas Sabar tanya tentang Meta? Naksir ya??”ledeknya. Aku hanya tersenyum malu. Anak bossku ini cepat mengerti. Ia hanya mengatakan agar lebih banyak sabar kalau suka dengan Meta.

“Memangnya kenapa toh? Saya hanya mengagumi Meta. Ini pertama kalinya saya suka dengan perempuan, Non.” Eeh , ia malah tertawa mendengar kalimatku dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Padahal aku penasaran dengan maksudnya perkataannya : “banyak sabar”.

Aku berusaha menyakinkan Virgin, nama anak bossku itu, akan ucapanku. Karena memang belum pernah sama sekali aku menyukai seorang perempuan. Baru ini dengan Meta, rasanya otakku lumpuh dan dadaku berdegub kecang jika melihatnya dari jauh. “Mas Sabar, lebay deh.” Virgin tertawa geli mendengar ceritaku.

Akhirnya aku hanya tersenyum geli melihat Virgin tertawa terbahak-bahak. Tetapi hasil dari ceritaku kepada Virgin, Meta ada reaksi, entah apa yang diceritakan Virgin ke Meta yang jelas ia menamparku. Aku terdiam mendengar makiannya.

”Denger ya, jangan ke GR an untuk jadi cowo gue. Ngaca donk siapa lu!” tunjuknya ke dadaku lalu meninggalkan aku yang menjadi tontonan orang di pagi hari. Mereka pasti mengira aku telah melecehkan Meta hingga mendapat perlakukan seperti itu. Nasiib..nasiib..

“Maaf Mas Sabar, maksud aku hanya menyampaikan kepada Meta, ternyata begitu ya jadinya.” Virgin meminta maaf dan merasa bersalah ketika mendengar ceritaku. Aku tidak mungkin juga marah dengan anak bossku.

”Aku maklum Mba Virgin, mana ada yang suka dengan aku yang hanya seorang supir.” Suaraku nyaris tidak terdengar dan membuat Virgin semakin merasa bersalah.

“Duuh maaf Mas. Sabar.” Aku juga tak ingin membuatnya semakin merasa bersalah dan aku meninggalkannya untuk menjemput ayahnya di toko.

“Pak, kemarin ada buku yang tertinggal di jok belakang. Maaf baru saya kembalikan hari ini sebab setelah saya baca , isinya menarik.” Kataku setelah tiba di toko dan menyerahkan buku yang tidak terlalu tebal mengenai strategi pemasaran. Ia tidak menerima buku tersebut dari tanganku.

“Ambil saja bukunya, itu buatmu. Pelajarilah! suatu saat kamu bisa berhasil!” demikian yang dia ucapkan. Sungguh hal tersebut seperti pecut yang menyalakan api semangatku untuk belajar!
**

Meta sudah tidak terlihat dihalte bus setiap pagi jika aku berangkat kerja. Menurut Tresno dan diyakini Tiwul , ia sudah mempunyai kekasih.

“Sudah ada mobil yang mengantar dan jemput dia , Mas Bar.” Kata Tresno hati-hati kepadaku. “Sering aku lihat mobil yang antar-jemput Mba Meta lewati depan pangkalan.”. Aku hanya terdiam dan rasanya perih menyukai seorang gadis dan ia tidak membalas perasaan yang sama.

Ketika melewati rumah yang terkaya disekitar tempat tinggal Mas Tiwul, yang tak lain adalah rumah Meta, aku melihat seorang lelaki merangkul pinggang Meta dan mencium keningnya sebelum masuk ke dalam mobil. Meta yang melihat kehadiranku disana seakan ingin menunjukan kepadaku seperti inilah yang pantas jadi kekasihnya.

Mobil BMW merah melintasiku dan Meta melepasnya sampai gerbang pintu rumahnya. “Malam Mba Meta..”sapaku penuh senyum melihatnya berdiri di gerbang pintu. Ia hanya menatapku sinis lalu masuk menyuruh pembantunya menutup pintu gerbang.

Aku memandangi perempuan yang ku akui telah mempesonaku hingga hilang dibalik pintu. Entah kekuatan apa, aku seakan iklas dengan perlakuannya dan keberadaannya kini yang telah berdua.
**

Cinta boleh menghancurkanku dengan perihnya karena profesiku hanya seorang supir dan mempunyai keluarga angkat yang juga supir. Namun seperti kata Mas Tiwul saat aku pulang dengan lesunya malam itu.

“Kamu harus bangkit Bar, tunjukkan bahwa kamu seorang yang tidak boleh dianggap remeh orang lain, hanya karena kamu supir!”

Tiwul benar! Dan untunglah boss aku memberikan ijin untuk aku kuliah seperti anak tunggalnya, Virgin. Perlahan bossku juga mulai mempercayaiku menangani beberapa pekerjaan di toko saat dirinya tidak ada di tempat. Aku banyak belajar cara berdagang dari boss ku ini.

Beberapa buku pemberiannya dan Koran-koran lama darinya aku bawa pulang untuk aku baca kembali.Semakin hari kehidupan bertambah baik seiring hampir selesainya tugas akhir kuliahku.

Saat wisudapun aku tak mampu menahan haru yang amat sangat karena anugrah yang luar biasa ini. Aku melihat mata penuh bangga dari Mas Tiwul. Bahkan orangtuaku yang sudah lama aku tinggali, kini dapat kuhadirkan diruangan yang besar dan berAC ini.

Mereka turut bangga menyaksikan anaknya digelari Sarjana dan membiarkan foto kami nantinya akan dipajang diruang tamu sebagai tanda kebanggaan mereka. Foto tersebut seakan seperti cerita yang tidak berbunyi untuk para tetangga atau siapapun yang datang ke rumah kami di kampung.

Dan Meta, entahlah mungkin ia mendengar berita dari Virgin sehingga ia menyempatkan datang mengucapkan selamat dan meminta maaf atas sikap dan perbuatannya yang dulu. Walaupun sekarang ia sudah putus dengan kekasihnya, entahlah rasa kagum terhadapnya seperti hilang tanpa bekas dihatiku. Tetapi dengan tulus aku menerima permohonan maafnya.

Ku dekap erat pinggang gadis cantik yang datang menghampiriku. Ia yang telah membantuku melewati perjuangan ini sampai aku memakai jubah toga.

“Meta, hari sabtu depan kamu hadir ya diacara pertunangan kami.” Ucap Virgin lalu pamit meninggalkan ruangan aula tempatku di wisuda. Kami meninggalkan gedung bersama kedua orangtuaku dan Mas Tiwul. Meninggalkan juga Meta yang masih terdiam mematung.

Jakarta, 30 Maret 2011
Penulis : Veronica Setiawati

2 komentar:

terima kasih atas komentar anda :)