Kraukk.com

728 x 90

my twitter

Follow g1g1kel1nc1 on Twitter

Minggu, 08 Mei 2011

Cerpen : Jodoh Di Tangan Siapa?

Cerpen : Jodoh Di Tangan Siapa?
By : Veronica Setiawati

Usiaku sudah menginjak tiga puluh tahun, tetapi belum mempunyai pasangan yang disebut pacar. Bukan tidak laku ataupun terlalu banyak memilih. Entahlah aku selalu merasa gagal setiap menjalin hubungan dengan setiap pria. Ada saja yang menjadi alasannya. Semakin lama aku semakin takut menjalin hubungan yang serius dengan para pria. Tetapi desakan orangtuaku semakin kuat…

“Udah deh Lis, daripada bingung kayak gitu mendingan minggu depan kita cuti.” Usul Ami teman kerjaku yang mungkin sudah terlalu bosan mendengar keluh kesahku tentang gagalnya percintaanku. “Cuti?? Gak salah lo Mi? Kamu tau kan killernya Pak Ganda? Lagian, ngapain juga musti cuti?” pertanyaanku bertubi-tubi ke Ami yang masih asyik menyantap makan siangnya.

“Ya, ke tempat nenekku lah Lis, biar kamu tuh cepat dapat jodoh. Mungkin aja setelah dari rumah nenek aku dikampung, kamu dapat pencerahan dan akhirnya jodoh datang.”jawab Ami encer tanpa beban. “Aku juga dulu gitu Lis, parno banget ga ada cowo yang mau deket aku. Eh sekarang buktinya aku kawin.”

Ami semakin mempromosikan dirinya. Aku hanya diam karena terus terang batin aku tidak setuju dengan cara seperti itu, ngapain juga musti ke paranormal, eh, maksudnya neneknya Ami yang dapat membaca masa depan itu. Mungkin belum waktunya aja, dan lagian , hal itu dilarang agama. Aku tidak mau!!

“Mungkin lebih baik kamu pikirkan lagi usul aku, Lis. Anggap aja kamu sedang iseng atau hanya sekedar ingin tahu aja. Ini juga demi kebaikan kamu juga sih. Aku hanya bantu kamu cari jalan keluarnya. Kalau kamu ingin buktikan ucapan aku, yuk aku antar. Tapi, kalau ingin terus begini, ya oke saja. Semua tergantung dengan diri kamu sendiri” Kali ini Ami lebih tegas mengucapkannya sebelum kami bubar kantor.
**
Entah bujuk rayu Ami yang dashyat atau memang aku yang sudah mentok dengan urusan jodoh dan desakan orangtua agar aku segera menikah, akhirnya kami berdua cuti selama dua hari. Sengaja kami mengambil hari kejepit, jadi lebih panjang waktunya berada di kampung.

Ami pun juga sudah memberitahukan maksud kedatangan kami nanti ke neneknya yang dikampung. Dalam hati, sepanjang perjalanan aku mengalami perang batin antara menolak dan menerima. Ami hanya terdiam tidak banyak bertanya, mungkin ia sudah mengerti dengan apa yang aku alami.

Sore hari kami tiba disebuah rumah yang masih terlihat bagus walaupun bangunannya adalah bangunan tua. Halamannya luas dan ditumbuhi pohon yang rimbun serta bunga. Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah. Tidak seperti bayanganku wanita paranormal dengan berjubah hitam , membawa tongkat dan berpenampilan seram dan menakutkan. Ia ramah dan berpakaian umumnya wanita paruh baya dengan kebayanya. Masih terlihat guratan kecantikan diwajahnya.

“Duduklah dulu atau istirahat di kamar. Jangan canggung, anggap saja ini rumahmu sendiri. Ami sudah banyak cerita tentang kamu.” Kelembutan dan kehangatan sebagai tuan rumah, aku rasakan sekali dirumah neneknya Ami. Foto keluarga terpanjang disudut ruang tamu. Aku tersenyum melihat Ami ketika kecil , jauh sekali perbedaannya dengan sekarang.

Suasana malam dikampung sangat berbeda. Aku melihat waktu dari jam tangan yang aku kenakan. “Jam segini, biasanya aku masih di dalam angkot menuju rumah.” batinku. Damainya suasana, langit yang cerah dan suara jangkrik yang merdu membuatku sejenak lupa pekerjaan kantor dan niat awalku ke sini.
***
Hatiku senang mendapat telepon dari mantan pacarku. Sebenarnya, bukan mantan pacar melainkan ia memang pernah dekat denganku. “Semoga dia adalah orang yang dikatakan oleh neneknya Ami.” Harapku mencoba mengaitkannya dengan perkataan nenek Ami sewaktu ke kampung seminggu yang lalu.

“Sebenarnya jodoh kamu dekat sekali, tetapi ia belum berani mendekat. Ketika ia datang kepadamu nanti, ia akan mengajakmu menikah.” Demikian yang diucapkan nenek Ami setelah aku mandi kembang yang katanya mengusir segala penghalang dan hal yang tidak baik dalam diriku.

Ami antusias mendengar ceritaku dan mengajariku untuk lebih dekat dengan pria itu. Namanya pria itu adalah Rangga, ia teman sekantorku dulu. Ia memang cukup dekat hingga teman-teman di kantor lamaku selalu menjodohkan kami berdua. Aku juga tidak tahu apakah ia memang suka padaku dulu.

Kami selalu bersama dan terlibat diskusi masalah kantor. Aku pun tidak menolak andainya dia memang mencintaiku. Namun ada halangannya buatku, kami berbeda keyakinan. Sehingga pertemanan kami sepertinya tidak berjalan mulus. Selain itu dua tahun berikutnya ia pindah kerja. Setahun kemudian aku menyusul ditempat kerjaku sekarang ini.

“Coba dulu Lis, atur pertemuan dengan dia. Kalau dia memang orangnya dia akan berjuang dengan cintanya walaupun kalian berbeda.” begitulah saran Ami. Kemudian aku berangkat menemui Rangga di sebuah tempat makan di mall tidak jauh dari tempat kerjaku.

Rangga sekarang lebih dewasa dan tetap menarik seperti dulu. Wajahnya kian menunjukan kewibawaannya. Pantaslah dia seorang Manager di kantornya kini. “Kamu cantik sekali Lis. Senang saya berjumpa kamu lagi.” Puji Rangga setelah kami bersalaman saat bertemu.

Dua minggu kami sering bertemu, bernostalgia saat kerja dulu. Menanyakan kabar teman-teman yang pernah bekerja bersama-sama kami. Aku tertarik dengannya, mungkin karena pencarianku akan sosok pendamping hidup atau karena desakan sosialku atau karena doktrin nenek Ami, entahlah, aku mulai menyukai Rangga.

Aku terpesona dengannya, wajahnya, suaranya dan ajakannya untuk bersamanya setiap kami ada waktu. Aku menunggunya menyatakan cinta atau sesuatu darinya untuk hubungan kami selanjutnya. Aku sangat berharap hingga aku tidak menolak saat kami masuk ke sebuah hotel dan memesan kamar yang sama!
**
Aku menangis tersedu-sedu menyesali perbuatanku dan kebodohanku sendiri. Aku menyalahkan Ami dan neneknya. Akibatnya aku telah tidur dengan suami orang. Rangga ternyata sudah menikah dan aku telah menyerahkan tubuhku kepada Rangga. Sungguh memalukan! Benci, marah , kecewa dan bodoh yang aku rasakan.

“Maafkan aku Lis, aku memang mencintaimu tetapi aku tidak mungkin menceraikan istriku. Aku khilaf.” ucapannya sungguh menyakiti aku, seakan menaruh harga diriku jatuh ke bawah kakinya. Aku merasa terhina dengan ucapannya. Sejak itu aku tidak pernah mau menemui Rangga walaupun ia memohon maaf dariku. Dan juga, aku memutuskan untuk pindah kerja walaupun dengan gaji yang lebih kecil untuk menghindari pertanyaan dan pertemuan dengan Ami.

Kemarahan telah menutup mata hatiku bahkan terhadap seorang lelaki muda, rekan sekerjaku bernama Wahyu. Ia sopan dan ramah, tidak pernah menghiraukan perkataanku yang sering ketus ataupun menolak ajakannya keluar kantor sekedar makan siang. “Maaf Wahyu, saya sedang sibuk. Apa kamu tidak lihat? Lebih baik kamu makan sendiri.” jawabku kasar dan ketus. Aku meninggalkannya yang masih diam mematung.

Wahyu sering aku tolak, ia tetap gigih mendekatiku. Apa saja caranya dia gunakan untuk meraih hatiku. Sampai suatu hari, aku jatuh pingsan karena kelelahan bekerja usai lembur. Wahyu yang masih bersamaku di kantor yang mengantarkanku pulang setelah ku siuman. Ia merawatku dengan baik hingga aku benar-benar pulih. Namun, aku masih saja tidak mau percaya dan perhatian sedikitpun padanya.

Trauma dan sakit hatiku terhadap Rangga masih melekat dihatiku, takutnya Wahyu pun akan melakukan hal yang serupa seperti Rangga. Ternyata aku salah. Semakin aku mengenalnya, ternyata Wahyu orang yang baik. Ia mengingatkanku untuk selalu berdoa. “Apapun yang terjadi dalam hidup kita, terima saja. Jangan pernah menyimpan dendam karena dendam tidak akan menyelesaikan masalah.” Itu yang pernah diungkapkan oleh Wahyu saat ia menceritakan perihal pribadinya.

Wahyu pernah kehilangan calon istrinya. Ia meninggal saat akan menikah dalam sebuah kecelakaan. Padahal semua sudah disiapkan dan perjuangan cinta yang awal mula tidak disetujui oleh orangtua calon istrinya, sudah tidak jadi penghalang. “Rasanya ingin marah Lis, kenapa perjuangan cintaku harus berakhir tragis seperti ini!”

Aku terdiam dan mengambil hikmah dari cerita Wahyu. Makin lama hubungan kami semakin dekat. Aku mulai terbuka dengannya dan sedikit demi sedikit menerima kehadirannya di hatiku. Wahyu sering datang ke rumahku dan menghabiskan waktu dirumahku dengan ngobrol dengan anggota keluargaku. Mereka menyambut baik kedatangan Wahyu dan senang dengan sikapnya yang tulus. Tanpa aku ketahui rupanya Wahyu telah melamarku. Ibu yang mengatakan bahwa ia melamarku.

Aku bahagia, saat usiaku menjelang 32 tahun ada yang melamarku. Aku juga tidak mau gegabah. Perasaan takut dan ragu masih menyelimutiku. Aku berdoa tengah malam. Ku gelar sujud doaku kepada Tuhan untuk membuka selubung yang tersembunyi. Mohon ampunan atas segala kesalahan. Mengucap syukur atas kerelaan hati seorang pria yang baik yang akan melamarku untuk membina rumah tangga denganku. Aku berdoa memohon kekuatan dan kebenaran yang berasal daripadaNya.
***
Ami datang menemuiku dirumah. “Aku minta maaf Lis, kalau ada yang salah sampai kamu pindah kerja lagi dan tinggalin aku. Rangga sudah cerita semua.. Ia datang ke kantor, mau ketemu dengan kamu, tapi karena kamu sudah pindah ya akhirnya aku yang terima dia di kantor.”ungkap Ami penuh nafas yang panjang penuh beban.

Aku sadar bukan Ami yang salah tetapi karena kemarahanku sendiri hingga tidak mampu berfikir dan menyalahkan sahabat baikku sendiri. “Aku sudah lupakan Rangga. Sekarang sudah ada lelaki yang akan melamar aku, Mi. Dia rekan kerjaku dikantor yang baru. Bulan depan kami menikah.” ceritaku dengan hati yang senang kepada Ami. Ia sangat terharu dan memelukku erat. Aku pun tidak sanggup menahan airmata.

“Makasih juga buat nenekmu ya, Mi. Walaupun sebenarnya aku paling antipati dengan hal-hal macam gitu, tapi wejangan nenek udah bikin hal yang baru dalam perjalanan hidup aku. Maafin aku juga ya, yang sempat kecewa dan marah.” Aku memegang tangan Ami dan memohon maaf dengan tulus. Ami tersenyum dan mengangguk senang. “Aku juga minta maaf ya , Lis dan doaku moga cowo ini jadi yang terakhir dan terbaik buat pendamping kamu selamanya.”

Kami berpelukan dan melepas haru dengan tertawa bersama. Tidak ada lagi yang mengganjal dihati kami masing-masing. Saatnya bagiku menjalani hidup yang baru. Bulan yang dinanti, aku melangkah pasti dalam pernikahanku bersama Wahyu. Orangtua Wahyu dan kedua orangtuaku hadir menyaksikan saat kami mengucapkan janji pernikahan.

Aku tidak lagi menyalahkan cara-cara yang sebelumnya aku jalani untuk menanti kedatangan pasangan hidupku.Entah bagaimana caranya jodoh itu datang, satu hal yang aku tahu, aku hanya perlu mempersiapkan diri menyambutnya. Karena ia datang di saat yang tidak terduga.

Mei 2011
http://veronicasetiawati.blogspot.com
ilustrasi foto : dari barbagai sumber

4 komentar:

terima kasih atas komentar anda :)