Kraukk.com

728 x 90

my twitter

Follow g1g1kel1nc1 on Twitter

Sabtu, 27 Juli 2013

[share] kumpulan puisi

note : saya hanya sekedar meneruskan saja hehehe.. yang penting sudah dapat ijin dari penulisnya ...
selamat menikmati  yaa...

veronica setiawati

--------------------
Poems
1.
?
Ketika masalah sebenarnya menampakkan rupanya,
Ketika itu pula manusia sadar tak ada yang siap.
Terus hendak apakah yang kita buat
Bagaimana kita bertindak,
Tak ada lagi bahu untuk menopang kuat,
Tak ada lagi kaki tahan berpijak.
Masa depan seakan menari puas dengan gelar misteri,
Sedang ringkih jiwa terus bermimpi indah melestari.
Suatu saat kawan.....
Suatu saat ....pasti
Tubuh bolamu melontar tinggi,
Sesuai bantingan Tuan duniawimu.
Hanya jangan berpikir mundur,
Walau nanah sudah menghias melukis.

2.
?
Hey! Aku pernah seperti ini,
Aku juga pernah seperti itu.
Diriku pernah begitu,
Diriku juga pernah begini.
Jiwaku pernah tertambat di situ,
Dan juga di sini.
Tapi kupikir sudah selesai sampai di situ,
Ketika ku mulai dari sini.
Biar kujalani lagi,
Entah dari sini, atau dari situ,
Biar ku tahu batasanku dan juga akhir-Mu.

3.
?
Aku berada di suatu titik...
Persimpangan dia menamakan dirinya.
Bukan antara kiri atau kanan,
Bukan antara atas atau bawah,
Depan atau belakang,
Hitam atau putih,
Nyata atau saru,
Tapi antara sangkal dan yakin di mana ragu adalah rajanya.
Dan bimbang adalah permaisurinya.






4.
Pemerintahku

Melotot tapi buta
Berteriak tapi bisu,
Berlari tapi lumpuh,
Berfikir tapi dungu,
Berkuasa tapi lemah,
Bertaji tapi betina.

5.
PERMAISURIku
Ambang batasmu mimpi terburukku
Hadir sesaat adalah bahagia ku.
Malam beribu jam,
siang seperti tak terpejam.
Kabut takkan tutupi nur,
Mata tak beranjak kabur.
Berpinang serasa meraja,
Bersatu timbulkan jumawa.
Permaisuri, sebutku lancang.
Perpisahan janji berpantang.


6.
Rintihan Sepi
Entah satu mungkin lebih,
Terbakar rokok sepi melirih.
Kurasa jua sendiri mewah,
Karena bak pematang sawah.
Sendirian terbentuk megah,
Disebut penghubung serta pemisah.
Masa itu dahulu kawan,
Masa itu juga belum datang menawan.
Sekarang bukan nanti,
sepi ini harus terhabisi...

7.
SANG DEWI MALAM
Beberapa bilang kau pasangan siang.
Namun tak sedikit jua bilang,
Kau adalah lawan berulang.
Suara desiran angin seret sahabat,
Sedang para bintang setia terjerat.

Mahkluk kelam berebut pentas,
dengan derikan,
beberapanya bersenandung keras.
Sedikit lolongan terasa lebih pantas,
Sehingga gelap sempurna meretas.

Anyamanmu sodorkan pandangan,
Seperti gelap kaburkan masa depan.
Tapi anak itu tak takut tantangan
Karena adanya Dewi impian

 
7.
?
Jangan pernah tertawakan kurang,
Maka kau bisa sadar itu lebih.

Tak kan terhindar terkadang,
Walau tak cukup pintu tuk masuk ruang.

Memang berat tujuan memintal,
Tapi lihatlah indah kemarin tersintal.

Gulungan-gulungan kelam,
Cita-cita,
Terang dan duka.
Tangis dan tawa,
Benci dan cinta tak menghitung satu dua.

Sampai di mana pena ini letih,
Tak akan ku nanti karena sedih.

8.
SENANDUNG BENCI TAPI RINDU
Masih menyengat aroma tubuhmu,
Membusuk dalam lipatan seprai.
Tawamu masih meraung,
Tersamar rapi di setiap sudut kamar,
Jubah jua lah topengku
Menata diri gantikan jiwa
Cerita-cerita itu masih tersurat,
Membahana hingga berbab-bab.
Suatu saat mungkin,
Suatu saat kan datang.
Apakah kau masih dirimu
Ranjang itu adalah musiummu
Pergilah kau kawan.

9.
MAINAN BARU
Mainan itu telah menjadi tuanmu,
Penguasa alam mimpi sadarmu.

Mainan itu bergelar baru,
Menggugah jiwa-jiwa lemah.

Tak berarti lagi kirikan si jangkrik,
Walau sudah berteriak mengkritik.

Tak membuai lagi sapuan si angin,
Hanya ada sentilan nyali bermain.

Mainan itu telah menjadi majikanmu,
Sehingga malam tak menutup tak jemu.



10.
PARA RAJA
Bubar telah jadi salam penutup
Sebagian pamit, sebagian bisu
Begitulah bergumul.
Tak perlu terbaik tuk jadi juara,
Karena semua telah merdeka. 
Tak ada radio ajarkan berucap,
Tak ada televisi serukan tatap.
Semua pusat beralih sering
Iya... memang kita telah merdeka,
Tak ada lagi penjajah seperti mereka.
Fitnah,
Terka,
Rumor berhenti seketika.
Begitu matahari putuskan senja.
Kita ini raja,
Semua adalah raja.
Karena memang beginilah peran kita,
Tirai hidup penutup senja.

11.
WAKTU
Pertanyaan kecil itu menggelitik,
Pelik,
Tapi tetap menggelitik.

Siapakah teladan zaman
Yang tak pernah berhenti berjalan
Tak akan diam apalagi stagnan.

Juara adalah takdirmu
Detikmu patuh sebagai pemicu
Menit sebagai menteri,
Jam sebagai penentu. 

Angkuh,
Tiada ampun menegas.
Demonstran berteriak meminta nafas
Sang bawah cuma bisa memelas

Kejam,
Teriak si kalah.
Teriakkannya pun tak akan masuk sejarah
Sisanya berlindung menyapu nanah

Tak ada lawanmu,
Tidak dulu,
Pasti selalu.
Gelarmu, Sang Waktu.




12.
AGENDA SI RENTA

Jendela kamar mulai ku buka
Tirai sudah ku sibak,
Sehingga cahaya merekah,
Berebut masuk memberi pertanda.
Sudah saatnya hari berubah.

Kening ini mengerut
Wakilkan tanya tak terucap
Muskil seperti bersahut-sahut
Sebab tak ada jiwa lain menetap

Sakit yang tak kunjung usai itu telah muncul,
Berlomba-lomba tunjukkan kuasanya.
Maju terus tanpa lelah,
Satu mengoyak,
Sisanya menambah perih.

Apa memang begini sifat kita manusia,
Selalu selipkan derita dalam cinta.
Atau sebaliknya
Mata kembali ku tutup,
Tuk merangkai sendiri indah cerita.

Sang nur makin kokohkan diri
Sehingga tak butuh lampion mengganti
Kuputuskan sudah nyeri ini,
Karena cacing-cacing kecil ini mulai beraksi.


Tumpukkan daun sampah mengambil tempat,
Puntung- puntung rokok telah meregang nyawa.
Tetap kuhabiskan jeda saat,
toh jua ada hiasan tawa.

Nyalakan kipas kata seorang tua,
Biar mungkin terbias asa.
Jam terus melaju sia-sia,
Hanya suaranya menancap perkasa.

Apa masih Tuhan berfirman,
Jika sepertinya pertempuran tak berajal.
Yang kadang musuh,
Suatu waktu kawan.
Sedih ini merampas nafas tersengal

Tuan tanah adalah tetap tuan tanah
Tak ada benar,
Tak akui salah.
Tak perlu kata kelu kesah.
Selama pohon terus tampakkan buah.

Sesaat ku tatap rupa sekitar,
Lewat celah kecil jendela kamar.
Kecil memang,
Tapi cukup besar,
Tuk mengintip dusta berkedok samar.

Si renta kembali lelap bersandar
Setelah membagi upah cacing-cacing lapar
Berjudi dengan serahkan sadar
Berharap pendek senyum berbinar.

13.
BERCINTA
Tak perlu tunggu musimnya tuk peraduan
Ketika semua tertangkap menyiar
Bibir lembut gudang cumbuan
Tangan halusmu mengukir liar

Ini kan bukan musimnya sayang,
Penolakannya terhadap kobaran.

Kalau kau tak ambil biar saja kubuang,
Ku tanam rapi dalam kuburan.

Kumis tebal tegaskan jati diri,
Seolah raja tegaskan nyali.
Permaisuri menantang birahi,
Si raja manut tubuh menari.

Apa sudah kubilang!

Pekik sang raja.
Memang apa kau bilang?
Sahut sang ratu.
Bilang saja lanjutnya
Sekarang penuhi ranjang dengan peluhmu,
Karena sekarang kita memburu waktu.

Maaf Ratu ku!
Menarilah Rajaku!

14.
TERMINAL HIDUP
Jalur sudah siap
Bis-bis itu telah tinggalkan senyap
Sebagian masih meratap,
Berdandan elok dihiasi asap.

Teriakkan-teriakkan itu membangunkan,
Memanggil jiwa-jiwa kepanasan
Ada yang tegas,
Tidak sedikit pula kesepian.

Jalur sudah siap
Bis-bis itu berlalu-lalang
Pergi dan datang,
Mengisi liang relung yang lapang.

Tak ada hati yang tak menirumu

Tak perlu rengutanmu,
Atau angukkan tanda setuju.

15.
PANGGILAN MALAM
Lagi,
Panggilan telah menata diri
Dengan riasan bintang di bibir tepi
Selimut sudah memanggil raga,
Siapkan hukuman kurungan hampa.
Mengekang jiwa menanam mimpi
Pasrahkanlah pada akhir hari

Malam telah menjual diri
Dengan rayuan lembut,
Bisikan hangat angin menipis.

Kembali jua kau pulang kawan,
Sambut riang selimut ranjang.


Malam ini telah menghukumku lagi,
Atas dosa sepanjang hari.

16.
TUKANG MASAK
Berdentang bukan jam
Tanganmu meliuk-liuk gemulai,
Bak penari mainkan peran.

Panggungmu tak perlu mewah
Jilatan lampu pun seakan berlebihan
Penambah siksa panas pementasanmu

Penggorengan menemukan jati dirinya,
Dijilati minyak seolah jodoh.

Jasad binatang dan potongan daun lembaran,
Semua akrab di bawah kekuasaanmu.

17.
?
Air dingin terpenjara,
Dalam kurungan botol-botol kaca.
Pantulkan gambar-gambar saru,
Berselimutkan embun-embun pedih.

Terbakar rokok,
Bukan satu juga dua.
Obati resah alihkan jengah
Tak jua ada ramah tamah

Biar ku ulangi lagi dari awal
Tarian-tarian konyol budaya asing,
Tak juga mampu tantang keadaan.

Mengalah tetap walaupun bukan pilihan.

18.
?
Kemerlap lampu-lampu hias,
Tunjukkan keramaian nikmati keindahan buatan.

Hingar bingar musik,
Terasa hanya berikan janji-janji semu.

Tawa-tawa terkumpul tak peduli kecil atau besar,
Manfaatkan lowongan suara alam.

Senyum-senyum mengambil perannya,
Sesimpul kecil sampai si ikhlas lebar.

Kobaran spanduk-spanduk dan umbul-umbul,
Mencuri pandangan si miskin.

Tak ada juga yang berani mengusikku,
Tetap juga tak ada.

19.
PUTUS ASA
Tatapanmu mulai beku
Bahasamu mulai merintih
Pialamu seakan tak lagi berarti
Terpenjara dalam ketegasan kaca

Debu-debu masih berlari-larian
Berlomba untuk menjadi yang terdepan
Ataukah hamba yang menantang
Berkorban badan melawan pantang

Peluh berkejaran basahi seragam
Yang terlanjur terpilih tanpa memilih
Berharap samarkan pedih
Dari sergapan tatapan tajam

Tertatih
Kosong
Hampa
Nelangsa

Entah apa lagi hukuman raja
Seakan ampunan tak berhak lagi terpilih



20,
ASTI SI PENARI PALSU
Asti mulai menari lagi
Panggung indah berhias mimpi

Tubuhnya meliuk bak aliran sungai
Pancaran indah pada tepian

Mata-mata itu mulai menangkapmu,
Menghantarkan jelas rekam lenggokmu

Sayang bukan aku
Sayang bukan hanya aku

Insan yang tega penjarakan jasadmu
Dalam kamar teralis mataku

Asti teruslah menari
Walau itu hanya jasadmu

Jasadmu memang,
Kata lancangku.
Karena anganmu terus berlari
Tanpa ingin berhenti

21.
MAAFKANLAH AKU
Maafkanlah aku hari-hariku
Tanpa jelas tabungmu ku isi,
Dengan adegan tanpa indah tersaji

Maafkanlah aku hari-hariku
Selalu ku hiasi kau dan saudara-saudaramu
Dengan berhala tanpa henti

Maafkanlah aku hari-hariku
Tak pernah terbesit sadar pikirku,
Syukuri awal,
Tutupi akhir.

Esok aku berjanji
Yah mulai besok,
Kita awali dengan elok.
copyright : tender s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda :)