Kraukk.com

728 x 90

my twitter

Follow g1g1kel1nc1 on Twitter

Sabtu, 13 September 2014

Perjalanan Jelajah Kota Tua – Marunda, Cilincing dan sekitarnya.

Minggu cerah di akhir Agustus 2014 , saya telah bersiap untuk jalan-jalan menyusuri kota tua yang berada di utara kota Jakarta. Karena terlalu bersemangat untuk segera menjajaki  wilayah Cilincing, Marunda dan sekitarnya, saya tiba di Museum Mandiri  lebih pagi , pkl 07.00 pagi. Setelah registrasi ulang peserta, saya dan peserta lainnya segera menaiki bus yang akan membawa kami menuju Marunda. Sepanjang perjalanan banyak cerita yang disampaikan mengenai wilayah Ancol hingga Tanjung Priok.

Melihat stasiun kereta api kampung bandan yang pertama kali di buat khusus angkutan barang pada masa pemerintahan Belanda dari pihak swasta , yakni  oleh Ir.C.W Koch seorang insinyur utama dari Staats Spoorwegen (SS-Perusahan kereta api hindia belanda). Sampai sekarang, stasiun ini masih berfungsi dengan baik terutama dalam membantu pengiriman barang Jakarta – Surabaya , begitupun sebaliknya.

Kemudian diceritakan juga mengenai jalur rel kereta yang pernah ada di sepanjang jalan Ancol, yang dahulu digunakan kereta api untuk menuju Stasiun  Beos atau  Jakarta Kota , namanya sekarang ini , dari Stasiun Kereta Api Tanjung Priok.  Namun sekarang jalur tersebut sudah tidak ada lagi, bahkan rangkaian rel mungkin sudah di menjadi barang besi bekas dan sudah menyatu dengan perumahan penduduk.

Sekilas mengenai Stasiun Jakarta Kota , dikenal juga dengan nama Stasiun Beos yang merupakan singkatan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur).  Atau menurut versi lain Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken yang artinya Batavia dan sekitarnya.
Fungsi Stasiun Beos saat itu adalah sebagai pusat transfortasi kereta api yang menghubungkan Batavia dengan daerah lainnya seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung), dan Karavam (Karawang) dan daerah lainnya.

Ketika melewati Stasiun Tanjung Priok yang ternyata ada di belakang halte transjakarta, di ceritakan bahwa di dalam bangunan tersebut terdapat sebuah lorong yang panjang atau istilahnya adalah bunker. Konon digunakan untuk saluran air menuju Pulau Seribu. Jika ingin memasuki , sebaiknya minta izin dengan pihak yang terkait dan perlu diketahui juga bahwa di dalam tempat tersebut tidak ada oksigen dan udara di dalamnya pun pengap.

Tanjung Priok sedang berbenah dengan pembangunan jalan tol yang pasti membuat macet lalu lintas disekitarnya. Penanaman tiang-tiang beton dan aktivitas lain dari pembangunan jalan menjadi pemandangan sehari-hari. Kemungkinan selesainya adalah sekitar tahun 2016. Kemudian pemandangan peti kemas yang bertumpuk entah yang baru turun dari kapal atau akan dikirim, dapat dilihat disepanjang jalan pelabuhan Tanjung Priok.

Marunda masih kearah jalan Cakung dan mungkin karena daerah pinggir laut jadi kesannya gersang dan panas. Setelah tiba di Marunda , kami jalan kaki melewati sebuah jembatan untuk menuju Kawasan Rumah Si Pitung. Jembatan itu dahulu terbuat dari kayu yang dirakit. Karena di dekat rumah si Pitung terdapat sebuah Masjid Al Alam dan termasuk situs sejarah juga, dahulu ada seribu para santri yang melewati jembatan ini dan akhirnya rubuh. Oleh sebab itu, dibangun jembatan yang lebih permanent sehingga bisa dilalui orang banyak bahkan kendaraan kecil. Saat menuju ke lokasi masjid , kami melewati sebuah rawa yang dipinggirnya penuh sampah. Di kejauhan tempat bus kami parkir, terdapat bangunan Rumah susun.  Kemudian melewati gang rumah penduduk dan ditemukan Masjid Al Alam.

Masjid Al Alam mempunyai bangunan yang unik dan terbuka. Sekilas seperti Masjid Agung di kota Solo dekat pasar klewer.  Bangunan utama terbuka, seperti Masjid Agung di kota Solo. Dan ada bagian lain dari bangunan masjid yang tingginya sekitar 1,5 mtr , yang dipakai untuk shalat ataupun azan. Kayu – kayu yang kuat dan kokoh sebagai tiang penyangga bangunan masih dapat di lihat dan tidak rapuh dimakan usia.
Di bagian halaman Masjid Al Alam, yang juga merupakan tempat pesinggahan Si Pitung, terdapat sumur tua yang masih mengeluarkan mata air. Menurut pengujung mata air yang ada di dalam sumur kadang-kadang bisa berubah rasanya. Dan di Masjid yang berada di dekat laut ini, banyak juga dikunjungi para peziarah dengan berbagai permohonan doa.

Satu kompleks dengan  Masjid Al Alam, terdapat cagar budaya yang lain yakni Rumah Si Pitung. Ternyata sudah banyak mengalami perubahan dan penambahan dua buah bangunan yang serupa. Dan halaman yang dibuat cantik sehingga siapapun dapat berlama dikompleks Rumah Si Pitung. Bahkan pada saat kami datang, ada sebuah acara Reuni sedang diselenggarakan.

Setelah puas makan siang di kompleks Rumah Si Pitung, perjalanan dilanjutkan menuju Kampung Tugu, Cilincing. Disana kami berkunjung ke sebuah gereja yang dibangun Kampung Tugu,Gereja Portugis atau lebih dikenal dengan nama Gereja Tugu. Kami menunggu lumayan lama karena menunggu selesainya ibadat pemakaman dari jemaat setempat yang meninggal.  Sambil menunggu ibadat selesai, ada seorang warga jemaat bernama Bp. Robby , menemani kami dengan cerita-cerita seputar Cilincing dan Gereja Tugu.  


Oiaa nama kebantenan yang terdapat di daerah Tugu ini, dahulu merupakan tempat tinggal atau kelompok
pemukiman dari orang – orang banten yang akhirnya tempaat tersebut dikenal dengan nama Kebantenan.

Untuk jalan-jalan saya lainnya di Marunda, bisa di baca di Marunda , Mencari Rumah Si Pitung dan Melaju Ke Kampung Tugu 

Salam dari penjelajah kota tua,
Veronica Setiawati
Jkt, 31 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda :)