IMLEK adalah perayaan menyambut datangnya musim semi dengan tumbuhnya pohon MenHwa yang ditandai berkembangnya bunga-bunga dari pohon tersebut yang berwarna merah muda. Kemudian adanya jeruk yang dipercaya mendatangkan rejeki dan kemakmuran, ikan bandeng yang besar serta kue keranjang. Sebuah kepercayaan dikalangan warga Tionghoa yang merayakan IMLEK , jika dimalam tahun baru tersebut datang hujan maka akan mendatangkan rejeki serta kemakmuran yang berlimpah.
Bentuk rumah-rumah warga Tionghoa yang masih ada serta bisa dilihat di kawasan Pecinan pun tergolong unik. Mereka menutup rapat-rapat dan membuat teralis besi pada rumahnya dimaksudkan agar rejeki itu tidak kemana-mana atau tidak sampai keluar rumah. Selain itu jika diperhatikan, disetiap rumah warga , terdapat satu tempat doa lengkap dengan dupa dan sesajinya yang dibuat menempel pada dinding di dalam rumah ataupun dihalaman rumah. Tujuannya dibangun, sebagai tempat penghormatan kepada para leluhur ataupun para dewa sesuai keyakinan pemilik rumah tersebut.
Ada lagi yang menarik jika diperhatikan, yakni disetiap pintu masuk rumah terdapat
Pecinan juga indentik dengan rumah ibadahnya dimana mereka mengucapkan syukur kepada Tuhan. Di sebuah Klenteng atau Wihara dari Yayasan Bhudi Dharma , saya melihat beberapa lampion yang tergantung tetapi berjuntai kertas yang sebuah nama dari
Selain wihara Budhi Dharma ada juga terdapat wihara Ariya Marga atau Lamceng Tee Bio . Letaknya disebuah gang kecil dan banyak terdapat tempat makan warteg di pintu masuk gang. Ada dua buah relief yang terdapat di pintu masuk wihara Tee Bio. Pertama sebuah relief seorang raja yang mengendarai kuda. Dimana replika dari kuda tersebut ada di dalam wihara. Dan relief yang kedua adalah gambara dari cerita tiga orang raja yang merupakan kakak beradik yang sedang bersengketa tetapi akhirnya dapat didamaikan oleh sang kakak. Mereka memperebutkan kedudukan dari sebuah pohon ,
Perjalanan selanjutnya adalah mengunjungi sebuah klenteng yang cukup tua yakni Klenteng Tang Seng Ong. Sewaktu saya mengikuti kegiatan yang sama sekitar tahun 2009, tempat ini masih dalam renovasi tetapi saat dikunjungi kembali menjadi sebuah klenteng yang sangat bagus. Bagian depan terdapat ruangan untuk berdoa di bagian belakang terdapat sebuah kolam ikan dan replika bunga teratai. Patung yang dipajang diatas sebuah altar doa, dekat kolam ini adalah tiga tokoh penting yakni Sang Budha yang diapit oleh Dewi Kuam In dan Biksu Tong dalam cerita Kera sakti.
Relief tiga lelaki yang ada di depan kolam pun mempunyai arti umur panjang symbol dari lelaki tua berjanggut putih, lelaki yang ditengah menjadi symbol sandang pangan dan lelaki yang menggendong bayi adalah mempunyai anak dan cucu. Tak kalah menariknya sebuah relief dari atap klenteng yang berupa sepasang naga. Naga menurut kepercayaan mereka adalah seekor hewan yang sangat sakti dan pelindung.
Sebelum menuju Klenteng Tang Seng Ong, terdapat sebuah sekolah, di lihat dari depan pintu gerbangnya masih merupakan bangunan lama. Di sekolah ini dahulu digunakan sebagai sebuah organisasi modern di Batavia bernama Tiong Hoa Hwee Koan ( Perkumpulan Tiongoa ) yang merupakan reaksi masyarakat Tionghoa terhadap kebijakan pemerintah Belanda yang tidak memberikan pendidikan bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Akibat pesatnya perkembangan dari sekolah ini maka pemerintah kolonial Belanda menjadikan bangunan sekolah ini sebagai sekolah berbahasa Belanda ( HCS ). Namun setelah pemerintahan Orde Baru bangunan diambil alih dan dirubah namanya menjadi SMU 19.
Selain sekolah juga ada sebuah rumah yang sudah menjadi cagar budaya karena fisik bangunannya yang sudah lama. Atap bangunannya menyerupai ekor walet yang menandakan status sosial yang cukup berada di Batavia bagi kaum Tionghoa sedangkan bagi kebanyakan atap rumah warga Tionghoa berbentuk pelana kuda. Walaupun mungkin di negeri asalnya tidak ada perbedaan bentuk bangunan untuk mereka yang berbeda status sosialnya.
Kawasan pecinan Glodok yang terkenal adalah Petak Sembilan. Dari sebuah kawasan yang dahulu merupakan kawasan perdagangan dengan sembilan petak dikenalah dengan nama
Dari sebuah buku mengenai sejarah 50 tahun Gereja St. Maria De Fatima , di sebut pada tahun 1953 dibelilah sebidang tanah di daerah pecinan dengan seluas satu hektar
Barulah pada tahun 1954 ketika Pater Matthias Leitenbauer SJ tiba di Jakarta, tanah dan bangunan di atasnya resmi menjadi milik gereja. Nama St de Fatima diambil dari sebuah cerita tentang penampakan Bunda Maria kepada tiga anak gembala seperti yang tergambar dalam relief gua maria di samping gereja.
Di depan bangungan utama tersebut terdapat dua buah patung singa, yang mana patung singa itu merupakan lambang kemegahan bangsawan Cina. Konon di halamannya yang luas terdapat pula pohon sawo kecik dan pendopo joglo berlantai tinggi dan tanah tersebut di kelilingi pagar bertembok tinggi.
Perjalanan diakhiri di Museum Mandiri dimana awal perjalanan dimulai dan juga sebagai tempat berkumpulnya para peserta Jelajah Kota Toea. Museum Mandiri sendiri
Hiburan diawal perjalanan yang menyenangkan ketika pertunjukan barongsai , sebuah tradisi kesenian Tionghoa di mulai. Musik khas yang dipukul dan dentuman lempengan piringan menambah suasana semakin meriah. Beberapa orang memasukan angpao ke dalam mulut barongsai tersebut. Sedangkan penutup acara , dijelaskan situasi dan tempat-tempat dari berbagai kota tempo dulu dari sebuah film dokumenter.
Menyenangkan bisa ikut kembali di kegiatan keliling menyusuri sejarah Kota Toea di Jakarta. Walaupun acara ini merupakan kedua kalinya pada event yang sama tetapi ada saja hal yang menarik yang baru dan mungkin belum ada pada perjalanan saya sebelumnya. Sehingga hal tersebut dapat menjadi suatu informasi yang menarik dan menambah wawasan yang baru bagi saya pribadi. Terima kasih Komunitas Jelajah Budaya .. semoga setiap orang yang ikut dalam event yang diadakannya membuat mereka termasuk saya pribadi semakin peduli akan budaya serta sejarah bangsa Indonesia, bangsanya sendiri.
Jakarta, 13 Februari 2011
Veronica Setiawati
http://veronicasetiawati.blogspot.com