Minggu cerah di akhir Agustus 2014 , saya telah bersiap
untuk jalan-jalan menyusuri kota tua yang berada di utara kota Jakarta. Karena
terlalu bersemangat untuk segera menjajaki
wilayah Cilincing, Marunda dan sekitarnya, saya tiba di Museum
Mandiri lebih pagi , pkl 07.00 pagi. Setelah
registrasi ulang peserta, saya dan peserta lainnya segera menaiki bus yang akan
membawa kami menuju Marunda. Sepanjang perjalanan banyak cerita yang disampaikan
mengenai wilayah Ancol hingga Tanjung Priok.
Melihat stasiun kereta api kampung bandan yang pertama kali
di buat khusus angkutan barang pada masa pemerintahan Belanda dari pihak swasta
, yakni oleh
Ir.C.W Koch seorang insinyur utama dari Staats Spoorwegen (SS-Perusahan kereta
api hindia belanda). Sampai sekarang, stasiun ini masih berfungsi dengan
baik terutama dalam membantu pengiriman barang Jakarta – Surabaya , begitupun
sebaliknya.
Kemudian diceritakan juga mengenai jalur rel kereta yang
pernah ada di sepanjang jalan Ancol, yang dahulu digunakan kereta api untuk
menuju Stasiun Beos atau Jakarta Kota , namanya sekarang ini , dari
Stasiun Kereta Api Tanjung Priok. Namun
sekarang jalur tersebut sudah tidak ada lagi, bahkan rangkaian rel mungkin
sudah di menjadi barang besi bekas dan sudah menyatu dengan perumahan penduduk.
Sekilas mengenai Stasiun Jakarta Kota , dikenal juga dengan
nama Stasiun Beos yang merupakan singkatan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij Maskapai
Angkutan Kereta Api Batavia Timur). Atau
menurut versi lain Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken yang
artinya Batavia dan sekitarnya.
Fungsi Stasiun Beos saat itu adalah sebagai pusat
transfortasi kereta api yang menghubungkan Batavia dengan daerah lainnya
seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung),
dan Karavam
(Karawang) dan daerah lainnya.
Ketika melewati Stasiun Tanjung Priok yang ternyata ada di
belakang halte transjakarta, di ceritakan bahwa di dalam bangunan tersebut
terdapat sebuah lorong yang panjang atau istilahnya adalah bunker. Konon
digunakan untuk saluran air menuju Pulau Seribu. Jika ingin memasuki ,
sebaiknya minta izin dengan pihak yang terkait dan perlu diketahui juga bahwa
di dalam tempat tersebut tidak ada oksigen dan udara di dalamnya pun pengap.
Tanjung Priok sedang berbenah dengan pembangunan jalan tol
yang pasti membuat macet lalu lintas disekitarnya. Penanaman tiang-tiang beton
dan aktivitas lain dari pembangunan jalan menjadi pemandangan sehari-hari.
Kemungkinan selesainya adalah sekitar tahun 2016. Kemudian pemandangan peti
kemas yang bertumpuk entah yang baru turun dari kapal atau akan dikirim, dapat
dilihat disepanjang jalan pelabuhan Tanjung Priok.
Marunda masih kearah jalan Cakung dan mungkin karena daerah
pinggir laut jadi kesannya gersang dan panas. Setelah tiba di Marunda , kami
jalan kaki melewati sebuah jembatan untuk menuju Kawasan Rumah Si Pitung.
Jembatan itu dahulu terbuat dari kayu yang dirakit. Karena di dekat rumah si
Pitung terdapat sebuah Masjid Al Alam dan termasuk situs sejarah juga, dahulu
ada seribu para santri yang melewati jembatan ini dan akhirnya rubuh. Oleh
sebab itu, dibangun jembatan yang lebih permanent sehingga bisa dilalui orang
banyak bahkan kendaraan kecil. Saat menuju ke lokasi masjid , kami melewati sebuah rawa
yang dipinggirnya penuh sampah. Di kejauhan tempat bus kami parkir, terdapat bangunan
Rumah susun. Kemudian melewati gang
rumah penduduk dan ditemukan Masjid Al Alam.
Masjid Al Alam mempunyai bangunan yang unik dan terbuka.
Sekilas seperti Masjid Agung di kota Solo dekat pasar klewer. Bangunan utama terbuka, seperti Masjid Agung
di kota Solo. Dan ada bagian lain dari bangunan masjid yang tingginya sekitar
1,5 mtr , yang dipakai untuk shalat ataupun azan. Kayu – kayu yang kuat dan
kokoh sebagai tiang penyangga bangunan masih dapat di lihat dan tidak rapuh
dimakan usia.
Di bagian halaman Masjid Al Alam, yang juga merupakan tempat
pesinggahan Si Pitung, terdapat sumur tua yang masih mengeluarkan mata air.
Menurut pengujung mata air yang ada di dalam sumur kadang-kadang bisa berubah
rasanya. Dan di Masjid yang berada di dekat laut ini, banyak juga dikunjungi
para peziarah dengan berbagai permohonan doa.
Satu kompleks dengan
Masjid Al Alam, terdapat cagar budaya yang lain yakni Rumah Si Pitung.
Ternyata sudah banyak mengalami perubahan dan penambahan dua buah bangunan yang
serupa. Dan halaman yang dibuat cantik sehingga siapapun dapat berlama
dikompleks Rumah Si Pitung. Bahkan pada saat kami datang, ada sebuah acara
Reuni sedang diselenggarakan.
Setelah puas makan siang di kompleks Rumah Si Pitung,
perjalanan dilanjutkan menuju Kampung Tugu, Cilincing. Disana kami berkunjung
ke sebuah gereja yang dibangun Kampung Tugu,Gereja Portugis atau lebih dikenal
dengan nama Gereja Tugu. Kami menunggu lumayan lama karena menunggu selesainya ibadat
pemakaman dari jemaat setempat yang meninggal. Sambil menunggu ibadat selesai, ada seorang
warga jemaat bernama Bp. Robby , menemani kami dengan cerita-cerita seputar
Cilincing dan Gereja Tugu.
Oiaa nama kebantenan yang terdapat di daerah Tugu ini, dahulu merupakan tempat tinggal atau kelompok
pemukiman dari orang – orang banten yang akhirnya tempaat tersebut dikenal dengan nama Kebantenan.
Oiaa nama kebantenan yang terdapat di daerah Tugu ini, dahulu merupakan tempat tinggal atau kelompok
pemukiman dari orang – orang banten yang akhirnya tempaat tersebut dikenal dengan nama Kebantenan.
Untuk jalan-jalan saya lainnya di Marunda, bisa di baca di Marunda , Mencari Rumah Si Pitung dan Melaju Ke Kampung Tugu
Salam dari penjelajah kota tua,
Veronica Setiawati
Jkt, 31 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih atas komentar anda :)