Seperti yang kita ketahui sebelumnya, bahwa melayani itu
adalah sebuah panggilan hati. Sehingga kita dapat tergerak untuk melakukan
sesuatu untuk orang lain. Lalu kepada siapa, pelayanan kita ini seharusnya
diberikan?
Keluarga , adalah tempat kita memulai pelayanan. Di dalam
keluarga, pekerjaan yang sederhana dan tampak biasa dilakukan dapat menjadi
awal mula kita melayani. Tidak mungkin kan, pekerjaan rumah diserahkan hanya
kepada satu orang saja? Atau di dalam rumah, hanya karena ia seorang kepala
rumah tangga, maka menganggap dirinya adalah raja, hanya selalu memerintah dan
menunjuk ? Hanya menuntut hasil akhir
yang baik tetapi mengabaikan usaha dari anggota keluarga yang lain?
Di dalam keluarga, kita dapat belajar saling melayani.
Dengan talenta atau saling berbagi tugas diantara satu keluarga, maka segala
urusan yang hanya dikerjakan satu orang dapat cepat terselesaikan. Tidak ada
yang merasa jadi boss atau tukang suruh saja tanpa pernah mau menerima
kesalahannya, tidak ada yang menjadi pelayan saja tanpa didengarkan suaranya,
tidak ada yang berkelahi karena berebutan pelayanan, tetapi semuanya mau secara
sukacita menjalankan tugasnya masing-masing.
Dalam keluarga, kita dapat belajar peka terhadap kebutuhan
anggota keluarga yang lain. Kita belajar memahami perasaan mereka, mengenal
karakter, sifat jelek atau pun kekurangan yang menjadi kelemahan dan ketakutan
dari anggota keluarga kita. Dari keluarga sendiri, kita belajar mengasihi
mereka dan menerima mereka apa adanya. Dari keluarga , kita belajar menerima
perbedaan. Kita belajar berdoa, belajar sharing pengalaman, dan belajar bagaimana
memperlakukan orang lain dengan sopan, ramah dan murah hati.
Namun yang menyedihkan, keluarga malah sering dijadikan
tempat melampiaskan emosi negatif. Tanpa kita sadari , justru di dalam keluarga
kita sendiri, kita sering mengeluarkan kata-kata atau perbuatan yang
menyakitkan hati. Kadang juga kita merasakan ketidakpedulian, kita merasakan
ketidakadilan karena mungkin orangtua, anak-anak, adek, kakak, atau anggota
keluarga yang lain lebih mementingkan urusannya sendiri. Atau mungkin kita
sendiri tidak adil dan tidak perduli dengan keluarga kita. Kita tidak dapat
mengerti mereka karena kita hanya menginginkan kitalah yang harus dimengerti.
Ada juga karena ketakutan yang berlebihan sehingga membuat
salah seorang anggota keluarga kita seperti dipenjara dan tertekan
kebebasannya. Tak dipungkiri luka-luka batin dan rasa kehilangan seorang sosok
dapat terjadi di dalam sebuah keluarga. Bahkan , seringkali kita mendengar,
melihat atau mengalami peristiwa yang buruk terjadi di dalam sebuah keluarga
seperti perceraian, sejak bayi mau di aborsi , penolakan dari orangtua, di
perlakukan kasar oleh anak, kekerasan dalam rumah tangga, mengalami pelecahan
seksual semasa remaja atau anak-anak, trauma perlakuan buruk dari orangtua atau
dari mereka yang dianggap orangtua , dan sebagainya.
Keluarga yang seharusnya menjadi tempat belajar melayani ,
malah dianggap sebagai neraka yang harus dijauhi. Luka-luka yang mungkin tak
kita sadari , kita bawa sampai dewasa ternyata justru menimbulkan luka kepada
orang-orang yang dekat dengan kita. Niat kita untuk melayani malah justru
menimbulkan masalah buat orang lain, membuat kita tidak membawa berkat, damai
dan kasih kepada semua orang. Kita menyalahkan orang lain dan diri kita sendiri
sehingga malah timbul pertengkaran dan sakit hati kembali. Apakah pelayanan
seperti ini terus yang akan kita bawa di hidup kita?
Datanglah kepada Hati Kudus Tuhan dan mintalah penyembuhan
dari Tuhan. Mintalah hati yang baru sepertiNya , Hati sebagai seorang hamba
supaya kita di mampukan untuk bisa melayaniNya dengan benar. Ingatkah kisah
orang Samaria yang baik hati? Kisah kebaikan orang Samarian dan orang yang di
tolong adalah sikap saling melayani.
Saat kita terluka , kita adalah korban itu, kita tergeletak
di jalan, harta kita sudah dirampas dan yang tersisa hanyalah tubuh kita tanpa
identitas yang penuh luka pukulan dan hampir mati. Tetapi, ternyata kebaikan Tuhan mau datang dan kita
ditolong oleh orang yang baik. Kita dirawat hingga luka-luka kita sembuh dan
benar-benar pulih. Kita ditolong dari trauma peristiwa yang telah terjadi
sehingga pikiran kita benar-benar sembuh. Kita jadi berani untuk bisa memulai
hidup yang baru. Setelah benar-benar pulih , kita dapat kembali menjalani tugas
kita. Apakah kita tidak akan bersyukur dan berterima kasih kepada orang
tersebut atas kebaikannya?
Apakah kita tidak akan sujud mengucap syukur tiada hentinya
karena masih diberi kesempatan hidup dan melayani walaupun sudah merasa tidak
pantas? Hidup kita kembali dibuat berharga untuk melayani dan mengampuni. Yah,
mengampuni orang-orang yang telah melukai hidup kita dahulu, yang telah membuat
kita manusia tanpa identitas, membuat kita hampir mati.
Dengan mengampuni, maka hidup baru yang telah kita terima
akan kita jalani lebih bermakna lagi. Dan sebagai orang yang Samaria, apakah
tidak ada rasa syukur yang timbul dari dalam hatinya karena telah membuat
hidupnya menjadi bermakna untuk orang lain? Mungkin dari pertolongan yang tulus
tersebut, dia menyadari bahwa menolong manusia lain tanpa melihat latar
belakangnya, ada rasa syukur dari dalam hatinya karena telah menyelamatkan nyawa
orang lain.
Kita pasti akan tergerak lebih lagi untuk membantu mereka
yang lemah , terluka dan terbuang. Bahkan di dalam keluarganya juga , kita juga
akan melayani dengan sukacita, merangkul semua anggota keluarga, memperhatikan
mereka , membantu dan mendukung tiap anggota keluarga. Kita menjadi lebih baik
dan bermanfaat bagi keluarga. Kisah dari orang Samaria tersebut menyadarkan kita
adalah satu keluarga di dalam Tuhan. Apakah kita mau mengakuinya?
Sebagai satu keluarga, maka kita perlu saling melayani
sebagai anggota keluarga. Dengan kemampuan, kepandaian, ide-ide atau pun
kelebihan-kelebihan yang kita miliki, kita dapat menjadi satu team yang solid. Tidak
ada kan dari tubuh kita merasa paling penting? Bayangkan, bila anggota-anggota
tubuh itu saling bertengkar karena merasa telah paling berjasa, bagaimana kita
bisa menjalani kegiatan kita sehari-hari?
Jika kita hanya bertengkar dan saling menyakiti satu sama
lain maka tujuan kita dalam team atau satu keluarga tidak akan tercapai. Kita
akan terlalu lelah karena bertengkar, kita kehilangan fokus dan tujuan untuk mencapai
garis finish, karena kita masih sibuk dengan urusan pertengkaran kita yang tak
kunjung selesai. Tujuan hidup kita supaya kita dapat melayani orang lain tidak
dapat kita lakukan.
Jikalau begitu , siapa yang seharusnya kita layani? Angkatlah
kepala kita dan bukalah mata kita dan lihatlah orang-orang yang ada di sekitar
kita, komunitas kita, gereja kita. Ladang telah menguning siap untuk dituai.
Kita dapat terlibat di dalam kegiatan kegereja, di lingkungan, di wilayah, di
masyarakat dan negara.
Kita akan seperti domba yang akan di lepaskan di
tengah-tengah kawanan srigala. Sudah siapkah kita melayani mereka? Sudah siapkah
kita berkorban, sakit hati, terluka karena cinta kita di dalam pelayanan?
Siapkah kita bertemu orang-orang yang bebal, orang-orang yang akan membelokan
pelayanan kita ke arah lain? Siapkah kita untuk menerima dengan lapang dada ,
bila pelayanan kita di gantikan oranglain? Siapkah menjadikan hidup seperti roti
yang terpecah bagi orang banyak ketika melayani? Siapkah kita menjaga api
pelayanan kita sendiri agar selalu tetap menyala?
Seperti kita ketahui dari kisah di kitab suci, banyak nabi,
yang awal mulanya mereka menolak panggilan dari Tuhan atau merasa tidak pantas.
Tetapi gerakan hati mereka membuat mereka melakukan panggilan tersebut tanpa
paksaan. Kadang mereka putus asa dengan orang-orang mereka layani karena tidak sesuai
harapan Tuhan dan tak jarang mereka merasa sendirian. Tetapi di saat tak
berdaya seperti itu, selalu hadir suara Tuhan yang menguatkan iman mereka.
Mereka di kuatkan hatinya oleh perkataan Tuhan, hingga
mereka tetap setia menjalani tugas perutusannya dan mengirimkan orang-orang
yang membantunya. Mereka tidak sendirian ketika menjalankan panggilan Tuhan
itu. Mereka saling bersatu hati, saling mendoakan, saling menguatkan di tengah
keadaan yang sulit. Hingga mereka dapat menyelesaikan tugas perutusan itu
sampai akhir hidup mereka.
Dari kisah tersebut, kita belajar bahwa selalu ada
orang-orang yang disediakan Tuhan untuk kita layani dan selalu ada orang-orang
yang akan membantu kita dalam pelayanan. “Kepada siapapun Kau ku utus pergilah,
janganlah takut Aku menyertaimu.” sabdaNya. Bahkan Dia bisa berikan siapa saja
tanpa kita pikirkan sebelumnya, untuk kita layani, contohnya seperti kisah Rasul Philipus yang membaptis
seorang sida-sida Ethiopia.
Yang kita tahu , saat kita melayani, kita tidak akan dibiarkan
sendiri. Imanuel = Tuhan beserta kita itulah janjiNya. Kita akan selalu
disertai dan kita akan selalu menjadi berkat untuk sesama. Kita membentuk
sebuah tunas baru lewat pelayanan kita karena kemurahan hati Tuhan. Pelayanan kita
seperti menabur benih. Dan hasil dari benih tanaman itu tidak bisa kita lihat
saat ini, tetapi kita berharap kepada yang punya tuaian dan pekerja-pekerja
ladangNya, tentulah dengan kuasaNya yang tak terlihat, Ia turut bekerja
mendatangkan kebaikan bagi umatNya.
Dan lewat doa-doa kita pun kita menyerahkan mereka ,
orang-orang kita layani kepada Tuhan.
Marlah berdoa :
Tuhan Yesus, kami telah belajar mengapa kami harus melayani.
Kami juga mau belajar untuk memuliakan namaMu di dalam hidup
kami.
Kami mau menjadi pembawa kabar baik kepada siapa saja yang
kami jumpai.
Tetapi kadang kami tidak siap untuk melayani.
Ajarilah kami memulainya dari keluarga kami.
Jadikan kami manusia yang sungguh berharga ,
dengan menjadi Roti yang terpecah bagi sesama.
Dengan kasihMu dan semangat pengampunanMu ,
maka bantulah kami dalam pelayanan kami.
Semua kami lakukan demi kemuliaan NamaMu saja. Amin
Selamat melayani,
Veronica Setiawati